Sori nih, belum sempet disunting ulang artikelnya biar enak dibaca. Tapi kalo berkenan, silahkan baca  salinan penuh dua sumber dibawah ini. Untuk yang mo ngacir langsung ke TKP juga monggo. Sori kalo repost (jangan ditimpuk ya).

InfoIndonesia: Pemindahan Ibukota Negara Indonesia dari Jakarta

Posted on Februari 18, 2008 by nizaminz
Usulan Lokasi Ibukota Baru Kota MerdekaPertama-tama kita harus sadar bahwa pemindahan ibukota dari satu kota ke kota lain adalah hal yang biasa dan pernah dilakukan. Sebagai contoh, Amerika Serikat pernah memindahkan ibukota mereka dari New York ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sidney ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin, sementara Brazil memindahkan ibukotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Indonesia sendiri pernah memindahkan ibukotanya dari Jakarta ke Yogyakarta.
Over Populasi (Jumlah penduduk melebihi daya tampung) merupakan penyebab utama kenapa banyak negara memindahkan ibukotanya. Sebagai contoh saat ini Jepang dan Korea Selatan tengah merencanakan pemindahan ibukota negara mereka. Jepang ingin memindahkan ibukotanya karena wilayah Tokyo Megapolitan jumlah penduduknya sudah terlampau besar yaitu: 33 juta jiwa. Korsel pun begitu karena wilayah kota Seoul dan sekitarnya jumlah penduduknya sudah mencapai 22 juta. Bekas ibukota AS, New York dan sekitarnya total penduduknya mencapai 22 juta jiwa. Jakarta sendiri menurut mantan Gubernur DKI, Ali Sadikin, dirancang Belanda untuk menampung 800.000 penduduk. Namun ternyata di saat Ali menjabat Gubernur jumlahnya membengkak jadi 3,5 juta dan sekarang membengkak lagi hingga daerah Metropolitan Jakarta yang meliputi Jabodetabek mencapai total 23 juta jiwa.
pembangunan
Jadi pemindahan ibukota bukanlah hal yang tabu dan sulit. Soeharto sendiri sebelum lengser sempat merencanakan pemindahan ibukota Jakarta ke Jonggol.
Kenapa kita harus memindahkan ibukota dari Jakarta? Apa tidak repot? Apa biayanya tidak terlalu besar? Jawaban dari pertanyaan ini harus benar-benar tepat dan beralasan. Jika tidak, hanya buang-buang waktu, tenaga, dan biaya.

Pertama kita harus sadar bahwa ibukota Jakarta di mana lebih dari 80% uang yang ada di Indonesia beredar di sini merupakan magnet yang menarik penduduk seluruh dari Indonesia untuk mencari uang di Jakarta. Arus urbanisasi dari daerah ke Jakarta begitu tinggi. Akibatnya jika penduduk Jakarta pada zaman Ali Sadikin tahun 1975-an hanya sekitar 3,5 juta jiwa, saat ini jumlahnya sekitar 10 juta jiwa. Pada hari kerja dengan pekerja dari wilayah Jabotabek, penduduk Jakarta menjadi 12 juta jiwa.
Jumlah penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperkirakan sekitar 23 juta jiwa. Padahal tahun 1986 jumlahnya hanya sekitar 14,6 juta jiwa (MS Encarta). Jika Jakarta terus dibiarkan jadi ibukota, maka jumlah ini akan terus membengkak dan membengkak. Akibatnya kemacetan semakin merajalela. Jumlah kendaraan bertambah. Asap kendaraan dan polusi meningkat sehingga udara Jakarta sudah tidak layak hirup lagi. Pohon-pohon, lapangan rumput, dan tanah serapan akan semakin berkurang diganti oleh aspal dan lantai beton perumahan, gedung perkantoran dan pabrik. Sebagai contoh berbagai hutan kota atau tanah lapang di kawasan Senayan, Kelapa Gading, Pulomas, dan sebagainya saat ini sudah menghilang diganti dengan Mall, gedung perkantoran dan perumahan.
Hal-hal di atas akan mengakibatkan:
  1. Jakarta akan jadi kota yang sangat macet
  2. Dengan banyaknya orang bekerja di Jakarta padahal rumah mereka ada di pinggiran Jabotabek, akan mengakibatkan pemborosan BBM. Paling tidak ada sekitar 6,5 milyar liter BBM dengan nilai sekitar Rp 30 trilyun yang dihabiskan oleh 2 juta pelaju ke Jakarta setiap tahun.
  3. Dengan kemacetan dan jauhnya jarak perjalanan, orang menghabiskan waktu 3 hingga 5 jam per hari hanya untuk perjalanan kerja.
  4. Stress meningkat akibat kemacetan di jalan.
  5. Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) juga meningkat karena orang berada lama di jalan dan menghisap asap knalpot kendaraan
  6. Banjir dan kekeringan akan semakin meningkat karena daerah resapan air terus berkurang.
  7. Jumlah penduduk Indonesia akan terpusat di wilayah Jabodetabek. Saat ini saja sekitar 30 juta dari 200 juta penduduk Indonesia menempati area 1500 km2 di Jabodetabek. Atau 15% penduduk menempati kurang dari 1% wilayah Indonesia.
  8. Pembangunan akan semakin tidak merata karena kegiatan pemerintahan, bisnis, seni, budaya, industri semua terpusat di Jakarta dan sekitarnya.
  9. Tingkat Kejahatan/Kriminalitas akan meningkat karena luas wilayah tidak mampu menampung penduduk yang terlampau padat.
  10. Timbul bahaya kelaparan karena over populasi dan sawah berubah jadi rumah, kantor, dan pabrik. Saat ini pulau Jawa yang merupakan pulau terpadat di dunia 7 x lipat lebih padat daripada RRC. Kepadatan penduduk di Jawa 1.007 orang/km2 sementara di RRC hanya 138 orang/km2. Tak heran di pulau Jawa banyak orang yang kelaparan dan makan nasi aking.
Untuk itu diperlukan penyebaran pusat kegiatan di berbagai kota di Indonesia. Sebagai contoh, di AS pusat pemerintahan ada di Washington DC yang jumlah penduduknya hanya 563 ribu jiwa. Sementara pusat bisnis ada di New York dengan populasi 8,1 juta.Pusat kebudayaan ada di Los Angeles dengan populasi 3,9 juta. Pusat Industri otomotif ada di Detroit dengan jumlah penduduk 911.000 jiwa.
Di AS kegiatan tersebar di beberapa kota. Tidak tertumpuk di satu kota. Sehingga pembangunan bisa lebih merata.
Indonesia juga harus begitu. Semua kegiatan jangan terpusat di Jakarta. Jika tidak, maka jumlah penduduk kota Jakarta akan terus membengkak. Dalam 10-20 tahun, Jakarta akan jadi kota yang mati/semrawut karena jumlah penduduk yang terlampau banyak (saat ini saja kemacetan sudah luar biasa).
Biarlah Jakarta cukup menjadi pusat bisnis. Untuk pusat pemerintahan, sebaiknya dipindahkan ke Kalimantan Tengah.
Kenapa Kalimantan Tengah? Kenapa tidak di Jawa, Sulawesi, atau Sumatra?
Usulan Lokasi Ibukota Baru Kota Merdeka
Pertama Jawa adalah pulau kecil yang sudah terlampau padat penduduknya. Luas pulau Jawa hanya 134.000 km2 sementara jumlah penduduknya sekitar 135 juta jiwa. Kepadatannya sudah mencapai lebih dari 1.000 jiwa per km2. Apalagi pulau Jawa yang subur dengan persawahan yang sudah mapan seharusnya dipertahankan tetap jadi lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia. Kalau dipaksakan di Jawa, maka luas sawah akan berkurang sebanyak 50.000 hektar! Produksi beras/pangan lain akan berkurang sekitar 200 ribu ton per tahun! Indonesia akan semakin kekurangan pangan karenanya. Selama ibukota tetap di Jawa, pulau Jawa akan semakin padat dan pembangunan tidak tersebar ke seluruh Indonesia. Jawa sudah kebanyakan penduduk/over-crowded!
Ada pun pulau Sumatera letaknya relatif agak di Barat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 42 juta, pembangunan di Sumatera sudah cukup lumayan.
Sulawesi dengan luas 189.000 km2 dan jumlah penduduk sekitar 15 juta jiwa masih terlalu kecil wilayahnya. Sumatera dan Sulawesi adalah pulau yang subur dan cocok untuk pertanian. Jadi sayang jika pertumbuhan jumlah penduduk dipusatkan di situ. Belum lagi kedua wilayah ini rawan dengan gempa bumi dan tsunami.
Ada pun Kalimantan luasnya 540.000 km2 dengan jumlah penduduk hanya 12 juta jiwa. Pulau Kalimantan jauh lebih luas dibanding pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dan jumlah penduduknya justru paling sedikit.
peta gempa Indonesia
Di pulau Kalimantan juga tidak ada gunung berapi dan merupakan pulau yang teraman dari gempa. Sementara di pesisir Kalimantan Tengah yang berbatasan dengan Laut Jawa juga ombak relatif tenang dan aman dari Tsunami. Ini cocok untuk jadi tempat ibukota Indonesia yang baru.
Sebaliknya Jakarta begitu dekat dengan gunung Krakatau yang ledakkannya 30 ribu x bom atom Hiroshima dengan tsunami setinggi 40 meter. Efek ledakan Krakatau terasa sampai Afrika dan Australia. Sekarang gunung Krakatau yang dulu rata dengan laut telah “tumbuh” setinggi 800 meter lebih dengan kecepatan “tumbuh” sekitar 7 meter/tahun. Sebagian ahli geologi memperkirakan letusan kembali terulang antara 2015-2083. Jadi Jakarta tinggal “menunggu waktu” saja…
Jika iya, apakah ibukota memakai kota yang sudah ada seperti Palangkaraya atau membuat kota baru sama sekali?
Jika membuat ibukota dari kota yang sudah ada seperti Palangkaraya, ini akan menimbulkan 2 kendala besar. Pertama perencanaan pembangunan jadi tidak fleksibel. Sulit untuk merencanakan tata ruang baru karena ruang yang ada sudah terpakai. Sebagai contoh, sulit untuk membuat jalan protokol selebar jalan Thamrin dan Sudirman karena jalan yang sudah ada ukurannya kecil. Jika dipaksakan, harus menggusur gedung-gedung di sekelilingnya. Ini jumlahnya banyak sekali dan biayanya juga tentu sangat besar.
Kedua, karena tanah yang diperlukan sudah ada yang memiliki, akan ada banyak spekulan tanah yang menjual tanahnya dengan harga yang sangat tinggi. Per meter persegi bisa 2-3 juta lebih. Biaya pembangunan ibukota bisa meroket dengan tinggi. Untuk pelebaran jalan, gedung pemerintahan dan rumah dinas seluas total 50 km2 saja bisa mencapai Rp 500 trilyun rupiah lebih.
Oleh karena itu lebih mudah dan lebih murah membangun ibukota baru dari tanah kosong milik negara. Idealnya ibukota baru ini memakai lahan bekas HPH yang sudah gundul dan terletak di pinggir sungai. Jarak ke pantai sebaiknya tidak lebih dari 50 km sehingga bisa jadi pusat pelabuhan.
Dengan cara ini, seandainya harus ada pembebasan lahan, biayanya tak lebih dari 10 ribu / m2. Jadi seandainya lahan yang diperlukan 500 km2, maka biaya pembebasan lahan hanya Rp 5 trilyun.
Ibukota Brazil, Brasilia dibangun dari tanah kosong / awal. Dari situ dirancang dan dibangun semuanya dari awal oleh para ahli tata kota. Ibukota lainnya yang dirancang dan dibangun dari awal untuk jadi ibukota adalah Washington DC, Canberra, dan Islamabad: Islamabad rancangan kotanya disiapkan tahun 1960, pembangunan konstruksi pertama tahun 1961, dan selesai tahun 1966. Selesai dalam 6 tahun. Umumnya ibukota baru dibangun tidak jauh dari kota sekitarnya (di bawah 400 km jaraknya). Brasilia sejak jadi ibukota tahun 1957 sekarang jumlah penduduknya sekitar 2,5 juta jiwa, Canberra 350 ribu jiwa dan Washington DC sekitar 563 ribu jiwa.
Apakah negara akan rugi karena biaya pembangunan ibukota sangat tinggi?
Pembangunan ibukota biayanya memang cukup tinggi. Tapi akan lebih tinggi lagi biayanya baik dari segi kesehatan mau pun biaya jika kita tetap memakai Jakarta sebagai ibukota. Selain itu pemerintah bisa memakai pembangunan ibukota baru sebagai sarana untuk mendapatkan uang. Bagaimana caranya?
Dari 500 km2 luas ibukota baru, tidak semuanya dipakai pemerintah. Pemerintah hanya memakai 50 km2 untuk jalan, gedung pemerintah, dan rumah dinas. 100 km2 bisa dipakai untuk hutan dan taman kota. Sisanya 350 km2 bisa dijual untuk bisnis dan umum dengan harga Rp 500.000-1.000.000 /m2. Paling tidak pemerintah bisa mendapat 175 hingga 350 trilyun rupiah dari penjualan lahan. Ini bisa dilakukan secara bertahap. Beberapa kota swasta seperti Lippo City, Lippo Karawaci, dan juga BSD sudah menerapkan hal ini. Pemerintah dengan dukungan dana APBN seharusnya juga bisa. Jadi dari sisi dana seharusnya tidak masalah.
Total pembangunan gedung pemerintah sendiri paling hanya sekitar Rp 20 trilyun. Ini cukup untuk 200 gedung @ Rp 100 milyar. Total biaya diperkirakan mencapai Rp 150 trilyun. Jika dilakukan secara bertahap dalam 5 tahun maka biayanya Rp 30 trilyun per tahun atau kurang dari 4% jumlah APBN yang mencapai sekitar Rp 800 trilyun. Biaya ini bisa ditutup nantinya dengan dana dari hasil penjualan lahan senilai Rp 175-350 trilyun.
Ibukota baru ini sebaiknya berjarak tidak lebih dari 200 km dari kota yang sudah ada, sehingga bisa mendapat dukungan logistik dari kota tersebut selama ibukota masih dalam pembangunan. Ibukota baru ini juga akan menghidupkan kota-kota di sekelilingnya.

Usulan Lokasi Ibukota Baru
Usulan Lokasi Ibukota Baru Kota Merdeka
Usulan saran saya ibukota baru ini dinamakan Kota Merdeka. Diharapkan Indonesia dengan kota ini benar-benar merdeka secara ekonomi dan politik. Letaknya 30 km dari kota Pangkalanbun dan terletak di tepi sungai yang lebarnya 1-2 km (lihat peta) dan berjarak 40 km dari laut. Jadi kota ini bisa jadi kota pelabuhan, aman dari tsunami. Kondisinya seperti kota London yang jaraknya dari laut sekitar 40 km. Dengan posisi agak jauh dari laut, kota ini relatif lebih aman dari bahaya invasi secara mendadak. Selain itu dengan sungai yang lebar akan ada pemandangan River View ala kota-kota Eropa, AS, dan Australia, di mana kapal-kapal besar bisa masuk melewati sungai. Sebagian Kota ini juga ada di dataran tinggi antara 50-500 meter dari permukaan tanah.
Kota ini jaraknya 670 km dari Jakarta. Jadi kurang lebih sama dengan jarak kota Surabaya-Jakarta. Dengan pesawat terbang dapat ditempuh kurang dari satu jam.
Diharapkan dengan adanya ibukota baru ini, Jakarta tetap menjadi pusat bisnis, sementara kota yang baru (Kota Merdeka?) menjadi pusat pemerintahan pembangunan dan penyebaran penduduk di Indonesia lebih merata.
Memang pemindahan ibukota tidak harus dilakukan sekarang. Tapi dalam 10 tahun ke depan mau tidak mau harus pindah. Jadi harus dipikirkan dan direncanakan mulai dari sekarang. Jika tidak pindah, apa jadinya jika jumlah penduduk Jabodetabek mencapai 30-40 juta jiwa pada tahun 2018?
Berikut berbagai artikel tentang pemindahan ibukota negara:
http://www.guardian.co.uk/world/2004/aug/12/northkorea
South Korea to move capital 100 miles south
This article appeared in the Guardian on Thursday August 12 2004 . It was last updated at 23:49 on August 11 2004.
The South Korean government confirmed yesterday that it is to create a new capital in what will be one of Asia’s biggest ever construction projects.
Under the £26bn scheme, a site in the sleepy region of Gongju-Yongi 100 miles south of Seoul will replace it as the seat of parliament and government by 2020. Despite sharp divisions among the public and the mixed results of similarly ambitious projects by other states, president Roh Moo-hyun insists relocation is necessary to ease chronic overcrowding in Seoul, redistribute the state’s wealth, and lessen the danger of a bombardment by North Korea.
· In 1956 Brazil’s capital moved from lively, crowded Rio to remote Brasilia. But spectacular buildings alone failed to attract the crowds
· Australia’s government decided to build Canberra in 1908. A functional, elegant city was created, though many residents escape to Sydney for nights out
· In a symbolic gesture, the German government moved from Bonn to Berlin in 1991. But resources are still split between the two cities
http://geography.about.com/library/weekly/aa101199.htm
Japan to Relocate Capital from Tokyo
Dateline: 10/11/99
In 1990, the Diet (Japan’s parliament) passed a resolution to investigate moving Japan’s capital city out of Tokyo. Within a few weeks, a committee will present their choice for the location of a brand-new capital city to the Prime Minister.
The idea for moving the capital in Japan was first proposed and discussed when Tokyo hosted the 1964 Olympic Games. Now, the Diet wants to move the capital out of Tokyo to alleviate the “excessive concentration” of political and economic functions in the world’s largest megalopolis of 33 million people. In addition, the possible breakdown of government functions in the event of a major earthquake striking Tokyo further led the Diet to legislate the move.
In 1868, with the Meiji Restoration, the Japanese imperial capital moved from Kyoto to the town of Edo (which had served as a quasi-capital since 1603) and Edo was was renamed Tokyo. Tokyo is the worlds most populous urban area and houses 26% of the country’s population. In a recent study, Japanese researchers found that the cost of housing in Tokyo is over four times the cost of similar housing in Paris and well over three times the cost of similar housing in New York City.
Memindahkan Ibukota, Membangun Indonesia
Sebelum membahas solusi tersebut, kita bersepakat bahwa kemacetanmerugikan individu, kelompok masyarakat dan bangsa yang sedang membangun. Bangsa ini telah rugi besar. Mulai kehilangan waktu, terbuangnya bahan bakar, kehilangan berbagai kesempatan transaksi ekonomi, hingga penurunan produktivitas dan daya saing. Kerugian itu diperparah peningkatan tekanan mental (stres) di perjalanan, tingginya kecelakaan serta maraknya kriminalitas, termasuk menyuburkan praktik KKN.
http://eddysatriya.blogspot.com/2007/11/memindahkan-ibukota-membangun-indonesia.html
Memindahkan Ibukota dari Jakarta?
Kalau memang ada niat untuk memindahkan ibukota, maka ada dua pilihan: memanfaatkan kota yang sudah ada, atau merancang daerah khusus ibukota sejak awal. Wikipedia mencatat ada beberapa ibukota negara yang dirancang khusus sebagai daerah ibukota, misalnya Brasilia, New Delhi, Canberra dan Washington, DC. Kelebihan kota-kota ini adalah bahwa kota-kota ini didesain khusus dari awal sebagai daerah ibukota, tidak seperti Jakarta yang terbentuk akibat urbanisasi.
Selain itu, beberapa negara memiliki lebih dari satu ibukota. Sebagai contoh Malaysia memiliki dua kota yang berfungsi sebagai ibukota: Kuala Lumpur dan Putrajaya, atau Belanda yang memiliki Amsterdam dan Den Haag. Bahkan Afrika Selatan memiliki tiga buah ibukota sekaligus: Pretoria, Cape Town dan Bloemfontein.
http://priyadi.net/archives/2006/09/29/memindahkan-ibukota-dari-jakarta/
Memindahkan Pusat Pemerintahan, Lalu Memindahkan Ibu Kota
Itu artinya, pengorbanan waktu dan tenaga manusia, biaya penggunaan kendaraan dan penyusutan nilai komponen kendaraan, terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut perhitungan yang dibuat oleh Badan Prencanaan Pembanugunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta, yang dikeluarkan akhir tahun 1999, biaya yang harus ditanggung masyarakat akibat kemacetan di Jakarta mencapai 900 juta dolar AS atau sekitar Rp 6.3 triliyun rupiah per tahun
http://andrinof.wordpress.com/2007/05/31/memindahkan-pusat-pemerintahan/
Memindahkan Ibukota Negara
Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa jika terjadi curah hujan tinggi, ibukota Jakarta sudah lumpuh, bandara ditutup, akses jalan tol menuju bandara putus. Padahal kawasan-kawasan ini merupakan obyek vital yang harus dijaga kelangsungannya, katanya.
Volume banjir yang terjadi di Jakarta tidak akan teratasi dengan teknologi kostruksi apapun, akibat penyimpangan tata ruang yang sudah parah. Penyimpangan itu berbentuk perubahan tata guna lahan, dilanggarnya ketentuan lingkup bangunan (building coverage) sehingga menghilangkan daya serap tanah terhadap air hujan.
http://beritasore.com/2008/02/09/memindahkan-ibukota-negara/
Seputar Wacana Memindahkan Ibukota Negara

Pemindahan ibukota negara dari Jakarta sebenarnya bukanlah hal yang baru.

Ibukota Republik Indonesia pernah beberapa kali pindah antara tahun 1945-1950, yakni dari Jakarta ke DI Yogyakarta, lalu ke Bukittinggi, Sumatera Barat, sebelum dipindahkan lagi ke Jakarta.

Pada masa penjajahan Belanda dulu, Bogor juga pernah menjadi tempat gubernur jenderal dan Batavia (sekarang Jakarta) menjadi pusat dagang.

http://www.antara.co.id/arc/2008/2/8/seputar-wacana-memindahkan-ibukota-negara/
Memindahkan Ibukota Negara
Oleh : Syafuan Rozi, Peneliti P2P LIPI Jakarta
- Jakarta sebaiknya cukup diposisikan sebagai pusat bisnis, ilmu pengetahuan, dan pariwisata, sedangkan pusat politik perlu dipindahkan ke luar Jakarta. Bisa secara periodik ke Tengah (Bali, NTB), Timur (NTT, Maluku Utara) & kembali ke Barat (Riau, Bukit Tinggi).
- Pemindahan pusat kegiatan, pernah dilakukan Rasulullah Muhammad SAW dengan hijrah dari Makkah ke Madinah.
- Australia pernah memindahkan ibukota negara dari Sydney ke Melbourne, kemudian Canberra.
- Jerman bersatu juga memindahkan ibukota negara ke Berlin.
- Di era Bung Karno, sudah ada gagasan untuk memindahkan ibukota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
http://kebijakanpublik.multiply.com/journal/item/2
Ali Sadikin: Over Populasi Sudah Merusak Jakarta
Coba, bayangkan! Kita bicara soal data terlebih dahulu. Pada zaman pemerintahan Belanda, Kota Batavia atau Jakarta itu dirancang hanya untuk ditinggali 800.000 penduduk.
Saat saya masuk (memimpin menjadi Gubernur DKI Jakarta, dilantik Presiden Soekarno pada April 1966), jumlah penduduk sudah mencapai 3,5 juta jiwa. Waktu saya meninggalkan (tidak lagi menjadi gubernur, tahun 1977), penduduknya menjadi sekitar 5,5 juta jiwa.
Bandingkan dengan jumlah yang sekarang! Sekitar 10 juta penduduk! Bahkan, sering ada yang mengatakan, jumlah penduduk Jakarta 12 juta jiwa pada siang hari. Kemudian jumlah pada malam harinya sekitar 10 juta penduduk. Itu pun belum dihitung jumlah penduduk liar yang tersebar di Jakarta.
Ngerti, enggak? Dilihat dari persoalan data ini, akhirnya mendatangkan persoalan-persoalan sosial di Jakarta. Problem sosial perkotaan di Jakarta sekarang itu lebih sulit diatasi, dibandingkan pada waktu dulu. Saya mengatakan, over populasi sekarang telah merusak Jakarta.
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0410/25/metro/1343410.htm
http://www.infobrasilia.com.br/bsb_h2i.htm#Outras%20cidades%20planejadas
Other planned cities
Besides Brasilia, many cities were planned and built specifically to be the capital of their countries.
Washington started to be built in the late eighteenth century; the city became the capital of the United States in 1800.
Canberra started to be built in 1913, and was declared capital of Australia in May 09, 1927. Canberra’s urban project was chosen among 137 entries in an international contest. Architect Walter Burley Griffin, author of the winning project, said Canberra should be “unlike any other city in the world”.
Islamabad is a little more recent than Brasilia. The city was appointed Pakistan’s future capital in 1959, and started to be built in the sixties. According to this official site, “The master plan of this most modern city was prepared in 1960 by M/s. Constantinos Doxiades, a Greek firm of Architects. Construction was started in October 1961. The city came into life on 26 October, 1966, when the first office building of Islamabad was occupied.”
It is important to note that these three cities were built relatively close to big cities that already existed. Canberra is 244 km from Sydney, and Washington is 327 km from New York. Islamabad is so close to Rawalpindi that they are considered twin cities. Brasilia, by the other side, is 931 km from Rio de Janeiro and 870 km from Sao Paulo. (these measures refer to air distances, not land distances)
Diarsipkan di bawah: Jakarta
klik disini kalo mo liat langsung di TKP ngacir2
Nah, ini dia sumber kedua (satu tahun berikutnya).

tvOne: Presiden: Perlu Pemikiran Lokasi Baru Pusat Pemerintahan

Kamis, 03 December 2009 02:28 WIB
Palangkaraya, (tvOne)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui Kota Metropolitan Jakarta sudah terlalu padat, karena itu wajar bila ada pemikiran untuk membangun lokasi baru pusat pemerintahan pindah dari jakarta.
"Sekitar 15 tahun yang lalu memang ada pemikiran untuk memindah pusat pemerintahan dari Jakarta, ke daerah Jonggol kawasan Provinsi Jawa Barat," kata Presiden Yudhoyono saat berada di Palangkaraya, Rabu malam.
Presiden Yudhoyono bersama Ibu Negara Ani Yudhoyono dan para menteri berada di Palangkaraya, Kalteng dalam kaitan menghadiri Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) tahun 2009 yang dimulai Kamis (3/12).
Menurut Presiden, saat malam silaturahmi dengan para menteri, gubernur se-Indonesia, serta unsur Muspida dan para bupati dan wali kota se Kalteng, setelah terjadi krisis moneter dan ternyata ide itu hilang.
Setelah adanya wacana pemindahan kala itu sampai sekarang wacana pemindahan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Jonggol itu tak pernah terdengar lagi.
Ke depannya memang masih perlu pemikiran pemindahan pusat pemerintahan tersebut, mengingat Jakarta yang sudah terlalu padat, tetapi hendaknya tidak terlalu jauh dari Jakarta.
Pengalaman di Malaysia, dimana pusat pemerintahan baru dibangun oleh Mahathir Mohammad di Putrajaya ternyata juga merepotkan pemerintahan di sana.
Walau masa tempuh antara kedua wilayah Putrajaya dan Kuala Lumpur hanya 40 menit, tetapi kalau acara yang mengharuskan bolak balik Kuala Lumpur dan Putrajaya maka waktu yang ditempuh juga cukup lama dan merepotkan.
Oleh karena itu, seandainya Indonesia juga membangun pusat pemerintahan baru dicarilah alternatif yang memudahkan, setidaknya tidak terlalu jauh dari Jakarta, ya seperti Sentul dan Jonggol, Jawa Barat, tambahnya.
Kalau dibangun pusat pemerintahan di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng) sebagaimana pernah terdengar wacana beberapa waktu yang lalu agaknya kurang ideal, karena jarak antara Jakarta dan Palangkaraya begitu jauh.
Tetapi kalau melihat wilayah Kota Palangkaraya yang begitu luas, maka wajar bila ada keinginan mengembangkan kota ini ke arah yang lebih bagus dan teratur.
Apalagi Palangkaraya dan Pulau Kalimantan pada umumnya relatif kurang terkena hantaman gempa bila dibandingkan dengan daerah lainnya di tanah air.
Menyinggung soal gempa di Indonesia, menurut Presiden, ternyata juga bisa memberikan berkah, karena berdasarkan penuturan para ahlinya, gempa besar bila melahirkan kandungan minyak bumi dan gas baru di kawasan gempa tersebut.
klik disini kalo mo liat langsung di TKP ngacir2
__________________________________________(end)
Hmm.. pemindahan bisa jadi tidak mungkin serta-merta dan semudah yang dibayangkan. Untuk saat ini, pulau kalimantan infrastruktur terutama listrik masih belum memadai dan mahal, ada yang bilang untuk rumah bangunan baru pemasangan listrik bisa sampai 3-5juta. Ditambah lagi “kayanya pas dulu ke Kalimantan, listrik flip-flop tiap satu jam sekali”. Wah, bakalan ada proyek pengadaan pembangkit baru dong disana, minjem duit dari mana lagi nih yang kemaren aja kayanya beloman kebayar deh.. Tapi kalo beneran jadi, pastinya pemerintahan lebih nyaman, karena jarang ada demo lantaran penduduk sedikit dan universitas besar kebanyakan ada di pulau Jawa (kalo mo demo, sewa getek masing-masing). 14
Tapi anehnya, kenapa baru dijawab sekarang ya? pas lagi rame-ramenya bioskop “Century”.. 14

berduka bukan mo nambahin ruwet masalah bangsa ini, tapi hanya sekedar buka mata-buka telinga dan buka kacamata “loh”. Tidak menerima komentar dari ognum banci politik, anggota parpol, tapol, napol, ataupun spidol apalagi spiderman. Liat provokator, silahkan hansip . Ini khusus jalur orang awam, rakyat jelata dan kutu kupret tok. 14

Creative Commons License You may share this document under Creative Commons License – Terima kasih telah membaca tulisan ini. © 2011 Ari Sulistiono, Indonesian Electrical Engineer.