Sepuluh November diperingati sebagai hari Pahlawan. Surabaya sering pula disebut sebagai kota pahlawan. Tiba-tiba memori pendek manusia Indonesia meraba sesuatu yang tidak beres, Loh Bung Tomo, Kok tidak pernah dinobatkan sebagai Pahlawan? Demikianlah manusia-manusia Indonesia pilihan Tuhan ini kembali berdebat. Tidak lama lagi sang presiden dengan ayunan dua tangan yang rapih dan teratur akan berbicara pada wartawan; Kita ingin mengoreksi kesalahan masa silam, tanpa usulan dari pemerintah propinsi, kita angkat Bung Tomo sebagai pahlawan bangsa. Ketika ayunan tangan berhenti, ia menatap jauh ke depan; 2009 di depan mata!

Orang-orang meributkan Bung Tomo, tetapi bukan tentang nilai yang diwariskannya, hanya masalah status semata. Saya membayangkan Bung Tomo di depan mikropon meneriakkan takbir, menggelorakan semangat Arek Surabaya melawan tentara Inggris (Bukan Belanda pastinya, anak-anak bodoh!). Memori pendek kita yang tidak beres ini mungkin lebih gampang memvisualisasi semangat Bonek ketimbang semangat Arek. Musuhnya bukan Inggris tetapi Persija, PSM atau Persipura.

Seenak jidat bisa saya katakan arek di tahun ’45 kurang lebih sama dengan bonek. Nekad, tidak mikir, gampang diprovokasi dan tentu juga diantara mereka terdapat juga bandit dan bromocorah. Ganti saja Union Jack dengan The Jakmania, arek atau bonek tetap akan melumatnya dengan cara yang sama. Bila perlu mereka akan datangkan Viking dari Bandung untuk mengganyang The Jakmania. Green Force dan Viking melumat The Jakmania. Duancuukk!! Puluhan tahun lagi bangsa ini akan tetap berputar-putar meributkan status kepahlawanan Green Force, Viking atau The Jakmania.

Bila demikian adanya, maka bung Tomo sebenarnya bukan siapa-siapa. Bila ia hidup pada masa sekarang, ia tidak akan lebih dari seorang pemuda yang berdiri di pembatas stadion jadi konduktor dari orkestra suporter. Kadang ia menjulurkan tangan ke atas, samping, bawah; kadang pula ia melambaikan selendang; paling sering mungkin memimpin barisannya melemparkan botol mineral berisi air seni ke pihak lawan atau wasit. Ia bisa saja berorasi melawan petugas keamanan, ia mungkin ditangkap atau mati di tangan lawan atau polisi. Esok mungkin, dalam kebodohan yang sama, kita akan kembali meributkan siapa yang salah dan siapa yang layak menyandang status pahlawan.

Saya jadi bertanya-tanya; mereka yang sinting atau saya yang acuh? Masih perlukah kita meributkan hal-hal seperti itu pada saat sebenarnya kita mengencingi stupa-stupa pengorbanan pemuda model bung Tomo? Kenapa tidak terus terang dan jujur saja kita berkata; Bung Tomo layaknya tokoh kemerdekaan lainnya tidak lebih dari seorang pecundang? Lalu apa pula pentingnya status kepahlawanan kita serukan dalam kemunafikan penuh air mata buaya bila sebenarnya pemuda model Bung Tomo itu tidak lebih dari orang gila pada masa dimana kita mengagungkan Globalisasi, Demokrasi dan Ejakulasi?

Pada saat mereka menunjukkan kepedulian pada Bung Tomo, sebenarnya orang-orang itu menghina Bung Tomo; menghina Surabaya, Medan Area, Bandung Lautan Api, Peristiwa Situjuh atau gerilya dan diplomasi. Saya semakin bertanya-tanya, pantaskah status kepahlawanan Bung Tomo ditentukan oleh orang-orang yang menista kemerdekaan itu sendiri. Sebab tidak seorang pun di masa sekarang yang bisa menentukan kadar kepahlawanan orang-orang seperti Bung Tomo.

Tidak dan itu tidak boleh terjadi. Pak Dirman telah mereka hina; di Jakarta setiap hari patungnya memberi hormat pada gedung-gedung megah perwakilan perusahaan asing. Sukarno-Hatta juga telah mereka pecundangi; Setiap saat Dua Bung itu melepas pesawat udara yang membawa perempuan-perempuan yang di seberang sana dipukuli, diperkosa dan dibunuh tanpa pembelaan berarti. Sementara diplomat sejati seperti Agus Salim dan Sutan Syahrir mereka kucilkan di kawasan Menteng tanpa empati.

Itu tidak boleh terjadi lagi pada Bung Tomo. Kelak ia bisa menjadi nama jalan, gedung, Bandara atau tempat publik lainnya tetapi terasing dari rakyat yang diperjuangkannya. Biarkan Bung Tomo dalam keterasingan statusnya. Jauhkan tangan kotor dari bintang baktinya untuk kebebasan. Jujurlah pada diri kita kalau ia tidak lebih dari Bonek di tahun ’45.

Tetapi bila sebagai insan globalisasi, demokrasi dan ejakulasi kita masih menaruh sedikit respek; biarkan Bung Tomo tetap sebagai Pahlawan Tidak Dikenal. Persis seperti syair magis Toto Sudarto Bachtiar.

Sumber Narasi: esito.wordpress.com

 

Fakta Wikipedia » Sutomo :

Gelar Pahlawan Nasional

Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007.[2] Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta[3].

 

Makasih dah bacabaca di mari, kalo ada yang mo pasang komen monggo saja jangan sungkan-sungkan.

Creative Commons License You may share this document under Creative Commons License – Terima kasih telah membaca tulisan ini. © 2011 Ari Sulistiono, Indonesian Electrical Engineer.