Pramudita… Dia gadis yang terlahir kaya, dan itu adalah sebuah dosa.

Itulah kebenaran yang tidak kunjung menjadi kesadaran di tanah kebohongan. Butuh waktu lama untuk menyadarinya. Setelah nyaris habis menikmatinya, dia menemui jurang hampa. Dan petaka itu datang pada saat dia menginjak semester lima di kampus negeri yang kursinya sekarang bisa dibeli (tentu dengan embel-embel kelas internasional, double degree, jatah daerah dan seribu alasan lainnya demi mengeruk kantong otak kosong penuh uang). Tetapi dia tidak bodoh, termasuk pintar malah. Kaya dan pintar tidak langka, tetapi bila aku kasih tahu kalau dia juga cantik, kau tak mungkin tak akan melirik. Ayahnya diperiksa KPK karena penyalahgunaan uang negara. Tidak lama kemudian ayahnya disidang dan dijebloskan ke dalam penjara, begitu cepatnya. Vonis dua tahun dikurangi masa tahanan. Ditambah lagi pencopotan dari jabatan. Hukuman yang sangat berat untuk sebuah kejahatan umum yang juga pasti dilakukan laki-laki lain dalam posisi sama.

Ibunya bilang, “Tenang, tidak ada yang berubah. Kecuali Papa jarang pulang

Benar saja nyaris tidak ada yang berubah. Kecuali tidak adanya laki-laki gendut, buncit, pendek dan pesek yang selama ini penampilannya merusak foto keluarga. Dua orang kakaknya bekerja sebagaimana wajarnya. Mereka sudah tinggal nyaman di rumah masing-masing yang dibelikan sang ayah. Sementara adik laki-lakinya yang masih duduk di bangku SMA, masih menjadi incaran perempuan sebaya karena raungan gitarnya. Untunglah, mereka empat bersaudara tidak seorang pun mewarisi wajah ayahnya. Mereka mendapatkan wajah enak dipandang dari ibu dan rejeki enak digunakan dari ayah. Benar-benar keluarga idaman Indonesia. Dia menunggu sesuatu yang berubah di kampus yang kadang terkenal dengan suara nyaring miriing dan kritis. Tetapi keadaan tetap sama. Orgasisasi mahasiswa, mulai dari kaki tangan PKS hingga antek PKI masih saja menyodorkan proposal dana kepadanya. Dulu ayahnya giat menyumbang, cuci uang kecil-kecilan bersama adik-adik mahasiswa. Ibunya masih gemar pelesiran, Singapore dan Hongkong tentunya. Duit mereka tidak berkurang, deposito senantiasa memperanakkannya. Dan yang lebih menyenangkan lagi, saban akhir pekan papa pulang menjenguk keluarga, senin pagi dia kembali lagi ke penjara. Jatah sang istri lebih enak daripada tangan sendiri.

Keadilan itu manusiawi, itu menggugah hatinya

Dia tidak mau ribut tentang penegakan hukum yang lemah. Dia tidak perlu mendengarkan bibir ceriwis presenter tivi memprovokasi. Dia hanya merasakan kehidupan ini tidak asik dan ini jauh dari urusan negara apalagi omong kosong nurani rakyat. Tidak asik, itu saja. Setelah bertahun-tahun mendapatkan semuanya, dia mendambakan kehilangan. Sebab tanpa perasaan kehilangan, tidak akan ada rasa memiliki. Semua yang dia dapatkan selama ini hampa. Itu sebab pada saat ayahnya ditangkap, dia berharap suasana baru akan mengisi hatinya. Tetapi ternyata sama saja, dia menghadapi kebosanan yang sama. Alkohol, pil dan injeksi bahkan tidak akan mampu mengatasinya. Orang-orang yang melihatnya frustasi, berprasangka karena ayahnya dipenjara, mereka memberi perhatian lebih dari sebelumnya. Tetapi mereka salah, dia sudah mengetahui ayahnya korupsi sejak dia mengenal lembaran uang seribu rupiah. Dia menikmati setiap rupiah yang dicuri, tetapi dia tidak kunjung merasa memiliki. Dia frustasi sebab dia berharap kehilangan semuanya, hukum Indonesia tidak mengijinkannya. Dia akan melakukannya sendiri. Mulailah dari laki-laki.

Jadi Korupsi dimulai dari Laki-Laki

Mereka keluar dari sebuah lubang dan seumur hidup terobsesi dengan lubang. Sebagian besar laki-laki Indonesia sudah menjadi pecundang semenjak kelahirannya. Otak, tubuh dan kemaluan kecil; pada saat dewasa nanti semua ini butuh penyesuaian. Sepanjang usia pertumbuhan mereka akrab dengan kemiskinan; anak miskin diasuh orang tuanya yang miskin, anak kaya diasuh oleh pembantunya yang miskin. Itu sebabnya semua laki-laki Indonesia mengubur masa silamnya, sebab mereka ingin menghilangkan jejak perempuan jelek di masa silam. Mereka belajar dengan cepat bahwa kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Mereka melihat ayahnya yang kuli membawa sedikit uang dan mereka bisa makan enak. Mereka melihat ayahnya yang menteri, membawa banyak uang dan mereka bebas menghabiskannya. Mereka memandang om-om mereka, dekil dan jelek tetapi bisa membawa perempuan seronok. Mereka memandang otak, tubuh dan kemaluan mereka yang kecil, “oh, ini juga bisa diperbaiki dengan uang”.

Mereka rendah diri di hadapan laki-laki asing dan selamanya terobsesi untuk bisa menjadi seperti mereka. Mereka miskin karakter sebab dari kecil tidak terbiasa berolahraga. Mereka tidak belajar keadilan dari lapangan, kompetisi dari trek lari, solidaritas dari permainan tim dan ketahanan dari air; mereka lembek, kelas tiga es-em-pe perut sudah buncit membusung. Mereka terbiasa santai karena budaya menempatkan mereka berkuasa atas perempuan. Warung kopi penuh laki-laki, dari pagi hingga malam; perempuan sibuk bercocok tanam. Anak perempuan belajar memasak, anak laki-laki merengek minta mainan. Dan tiba-tiba saja dengan segala kemiskinan diri itu mereka harus mendapatkan semuanya dengan banyak, cepat, mudah ; semua demi lubang.

Perempuan mahal, laki-laki murah

Laki-laki Indonesia selalu rendah diri di hadapan perempuan. Hanya budaya dan agama yang membuat kepala mereka tetap bisa berdiri tegak. Perempuan terlihat mahal di mata laki-laki yang tidak terbiasa berkarya. Menebar janji adalah satu-satunya keahlian laki-laki Indonesia yang susah ditandingi laki-laki lain. Janji menjadi tuntutan bagi perempuan. Bagi hampir semua laki-laki Indonesia, satu-satunya cara memecahkan persoalan adalah dengan uang. Uang langka, karena tenaga kerja Indonesia dihargai murah. Tuntutan kenaikan gaji hanya akan berbuah pemecatan dini. Mencuri pilihan yang masuk akal. Menjilat cara terbaik yang diajarkan sejak di meja makan melihat ayah dipuja puji. Memalsukan semua hal sudah biasa, karena biasa mamanipulasi kekurangan diri. Korupsi adalah keahlian yang umum dikuasai laki-laki Indonesia. Dari gedung tinggi hingga proyek irigasi. Ayah mereka mengajarkan, pemimpin mereka memerintahkan dan sekarang itu menjadi sebuah keharusan.

Ya, laki-laki dan perempuan berkomplot dalam soal korupsi. Laki-laki mencari, perempuan menikmati; anak-anak mereka tidak tahu diri. Tetapi semua ini berawal dari lelaki lemah yang seumur hidup tidak pernah bisa memecahkan persoalan kenapa otak, tubuh dan kemaluan mereka kecil. Mereka berusaha menciptakan kebahagiaan dengan terus membeli sehingga tidak pernah tahu apa sebenarnya yang mereka miliki. Bangsa yang tidak bisa mencipta apalagi berkarya akan memakan sesamanya. Kesimpulan yang dangkal mungkin, pikirnya.

Namanya Pramudita. Tentu orang tuanya berdoa agar kelak dia jadi pramugari dan bukan pramusaji. Cita-cita dari keluarga yang menanjak kaya (sekarang kaya sekali seiring naiknya pangkat dan golongan). Bapaknya tengah dipenjara, saban sabtu tetap tidur di rumah. Kami bertemu di sebuah kelab malam. Dia menghabiskan tequilla tanpa garam dan jeruk nipis. Dia bilang tengah menyusun rencana kepadaku. Dia bosan dengan dunia yang tidak asik ini; yang memberi begitu banyak ruang untuk kesalahan dan sedikit ruang untuk koreksi. Laki-laki Indonesia payah, sepanjang usia hidup dengan janji. Dia akan memulainya sendiri; dia percaya satu-satunya cara untuk menghukum koruptor adalah dengan mengorupsi kebebasan keluarganya. Ya, termasuk dirinya sendiri.

To be continuePramudita - Part. 2
Sumber Narasi: E.S Ito

Creative Commons License You may share this document under Creative Commons License – Terima kasih telah membaca tulisan ini. © 2011 Ari Sulistiono, Indonesian Electrical Engineer.