Pramudita - Part. 2
17 Oktober 2011, 12.21
Diposting Oleh: Ari Sulistiono | lokasi Tag: Copas & Share
Satu botol tequila tidak cukup untuk menghempaskannya. Kepalanya berat memang tetapi tidak cukup bodoh untuk menerima godaan dari laki-laki di kelab yang ingin memboyongnya pulang. Tidak lagi mau menggunakan kendaraan pribadi, dia menyetop taksi. Tidak lagi mau tinggal di rumah orang tuanya yang menjadi sarang korupsi, dia pilih tinggal di kosan kecil tanpa AC dan pemanas air kecuali dia masih terkoneksi dengan dunia luar lewat internet. Matanya terpejam tetapi pikirannya mengembara kemana-mana. Tubuhnya gelisah karena gerah tetapi hatinya tenang sebab dia tidak perlu lagi tinggal bersama keluarganya yang bersusah payah membangun citra diri lewat uang korupsi. Dan tidur dua jam cukup memberikan tenaga baru, dia menghirup pagi yang sangat indah tanpa bungkuk babu lengkap dengan pertanyaan konyolnya.
Saatnya berpikir Pramudita…….
Sukarton Marmosudjono adalah seorang laki-laki fenomenal yang tidak pantas untuk dilupakan. Tetapi dia dilupakan, memang begitulah keadaannya. Hal-hal baik dilupakan di negeri ini hanya untuk menguatkan keyakinan bahwa korupsi adalah sebuah takdir yang mesti diterima, penyakit genetik yang mesti ditanggung oleh generasi yang tidak mengerti apa-apa. Sebagaimana pemberani lainnya, Sukarton mati mendadak tentunya dengan penjelasan resmi yang telah dipersiapkan sebelum kematiannya. Sebab pasti kematiannya tentu saja misterius dan seperti biasa menjadi rahasia umum dalam persinggahan singkat di otak masing-masing. Tetapi tidak bagi Pramudita, baginya setiap peristiwa pasti memiliki catatan kaki yang lebih panjang dari catatan resmi.
Sukarton adalah seorang Laksamana Muda TNI AL ketika dikaryakan menjadi jaksa agung. Sebagai orang laut mungkin dia sudah lupa bagaimana rasanya takut. Inilah kenaifan di tengah kebangkitan uang menguasai republik. Sukarton gerah dengan korupsi yang merusak sendi kehidupan. Dia bosan mesti bekerja sendiri mengejar pencuri tanpa dukungan publik yang sebenarnya dirugikan. Sukarton melihat Harmoko, mulut mantan wartawan Koran kuning itu mampu menjangkau pelosok tanah air lewat TVRI. Hari-hari omong kosong mesti diberi jeda dengan hari-hari partisipasi. Sukarton mengejar koruptor buron, dia memasang tampang mereka di ujung berita nasional TVRI. Terus berulang seperti itu, setiap hari. Kadang dia beruntung, masyarakat melaporkan dan ini memaksa aparat korup untuk menangkap tersangka. Tetapi satu hal yang pasti, masyarakat memahami, di tengah-tengah mereka hidup para pencoleng buron. Koruptor dipermalukan, masalah ini lebih besar dibanding partisipasi. Tidak lama kemudian, 29 Juni 1990 Sukarton mati mendadak, hanya dua tahun setelah dia dikaryakan. Kau tidak butuh otak pintar untuk mengerti kenapa dia mati secepat itu.
Pramudita tersenyum kecut. Dipermalukan, itulah ketakutan manusia sesungguhnya. Bahkan mungkin itu juga yang menjadi pangkal dosa asal manusia. Mungkin saja Tuhan merasa dipermalukan ketika Adam tidak mengindahkan larangannya menjauhi pohon sialan itu. Kabil membunuh Habil karena merasa dipermalukan di depan Tuhan. Orang-orang Israel membunuh nabi mereka karena merasa dipermalukan mesti menerima orang istimewa dari kalangan biasa. Hitler membunuh Yahudi karena dipermalukan oleh perlakuan bapaknya yang separuh Yahudi. Dan apakah lagi yang membuat kebencian Sukarno begitu bergelora kepada Belanda selain pernah dipermalukan oleh seorang ABG bernama Rieke Melhusyen. Orang-orang mengatakan koruptor di Indonesia tidak lagi punya rasa malu, dia tidak setuju, sebab orang-orang tidak pernah benar-benar melancarkan agresi yang tepat mengenai jantung mereka. Pengadilan hanya sandiwara, semua orang mengerti. Televisi dan media hanya urusan iklan dan rating, itu yang membuat urusan serius menjadi tidak penting.
Dipermalukan, dia mengulangi kata itu ribuan kali. Dia telah merencanakannya dengan sempurna. Objeknya dia dan keluarganya. TVRI sudah usang, internet yang akan melakukannya. Dia sudah mencatat segalanya, rekening setiap anggota keluarga, pelat mobil yang biasa digunakan, pekerjaan mereka dan foto-foto akhir pekan ketika ayahnya meninggalkan sel, tenggelam dalam pelukan keluarga. Jejaring sosial akan mengambil alih persoalan. Dia dan keluarganya harus dihukum karena membiarkan, menikmati dan ikut menghisap hasil korupsi bapaknya layaknya candu ganja. Pertama dia memperkenalkan bapaknya, sejarah hidupnya dan kejahatan yang dilakukannya. Setelah itu dia memperkenalkan setiap anggota keluarga, kebiasaan mereka dan bagaimana cara mereka biasanya menghabiskan uang hasil korupsi itu termasuk dirinya. Diikuti kemudian dengan aset-aset haram yang dimiliki keluarganya, termasuk rumah kakak-kakaknya dan bahkan juga laptop yang dia gunakan. Bagian menariknya adalah ketika dia membeberkan tempat mana saja yang menjadi favorit anggota keluarga, mulai dari mall, café, club atau bahkan restoran Sunda. Dan paling seru dia membeberkan pelat mobil setiap anggota keluarga lengkap dengan ciri lengkap mobil yang mereka kendarai. Terakhir dia meng-upload foto-foto keakraban akhir pekan ketika ayahnya rehat dari penjara tentu saja disertai modus operandi dan orang-orang yang terlibat. Informasi sekarang milik publik. Seharusnya tersebar cepat bahkan dibanding kebenaran Tuhan yang dibawa para nabi.
Tiba-tiba saja dia pulang ke rumah. Menjadi si bungsu yang melakukan aktifitas sebagaimana mestinya. Kuliah mengendarai mobil, menyambangi mall favoritnya dan ketika malam datang dia bersiap menyambut kehebohan klub. Bukan sebagai pekerja tetapi pengunjung. Dia masih menunggu sebab di negeri ini tidak banyak hal yang bisa ditangkap dengan cepat oleh publik. Mereka butuh dorongan, sugesti dan kesaksian bodoh dari orang-orang yang mengaku pintar. Butuh tiga hari hingga dunia maya heboh dengan data-data yang dia beberkan. Butuh satu minggu untuk geretan pertama di mobilnya yang telah ditandai karena pelat nomor yang dibeberkan di internet. Butuh sepuluh hari ketika terror pertama melanda ibunya yang tengah berada di pusat perbelanjaan. Karena pemerintah tidak juga bereaksi orang-orang akan memilih caranya sendiri untuk menghakimi. Sebuah kesaksian yang memuat data yang sangat pribadi dari sebuah keluarga yang membangun kebahagiaan semu lewat korupsi akan membantu mayarakat mengungkapkan kebencian terdalam mereka.
Butuh sebulan bagi pemerintah untuk bereaksi tentang tahanan korupsi yang menjalani hukuman penjara semaunya. Penjelasan yang diberikan juga sederhana, gunakan azas praduga tidak bersalah. Tetapi keluarga ini telah menjadi bulan-bulanan massa. Semua hal tentang kehidupan mereka telah diketahui oleh publik. Keluarga ini tertekan oleh teror yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Pramudita kehilangan teman-temannya, mobilnya nyaris tidak bisa digunakan sebab selalu saja ada yang merusak bagian-bagiannya. Keluarganya tertekan tetapi dahaganya terpuaskan. Beginilah seharusnya mereka dihukum atas kejahatan yang mereka nikmati. Pramudita rehat kuliah, dia tidak pulang. Keluarganya berantakan, adik laki-lakinya nyaris berhenti sekolah. Dua orang kakaknya bekerja penuh was was karena mulai menganggap semua orang yang mereka temui adalah orang yang siap mencelakai. Ibunya tidak tahu harus bagaimana, kemanapun dia pergi telah ditandai. Dia hanya bisa mengurung diri di rumah. Dia menyandarkan dirinya di dipan kosan yang lapuk, tertawa sendiri Pramudita bersiap untuk kerja malamnya. Dia dan keluarganya hancur berantakan, itulah hukuman sepadan yang dia impikan. Di balik sel, ayahnya akan menyesali semua yang telah dilakukan. Tidak sekedar dipermalukan tetapi juga dihancurkan.
Kali kedua kami bertemu sambil mengisap ganja, tentu saja pikiran jauh lebih jernih. Dia bertanya kepadaku, berapa jumlah anak muda di Indonesia. Aku hanya bisa menjawab usia produktif lebih dari 62 % dari populasi. Lebih dari 140 juta orang. Dia berasumsi, sepertiga dari usia produktif itu berusia 18-30 tahun, jumlahnya masih besar, lebih dari 40 juta orang. Itu adalah usia tanpa beban dimana kita bebas berbuat semaunya. Tetapi tentu sebagian besar berpikir tentang ketakutan akan masa depan. Sebagian lainnya sibuk memikirkan cara membesarkan kemaluan mereka yang kecil dan bagaimana cara mengubah kulit coklat yang menjadi kutukan. Jadi, mungkin hanya seperlima dari jumlah itu yang hidup dengan pikiran bebas mereka, ada 8 juta anak muda. Mari kita hitung lagi dari 8 juta orang itu, mungkin hanya seperempat orang yang melek informasi. 2 juta orang anak muda sekarang berpikiran bebas dan melek informasi. Ah, anggap lagi hanya 10 % dari mereka yang cukup punya nyali untuk berbuat dan tidak hanya bersuara. 200 ribu anak muda, jumlah yang tidak sedikit. Jauh lebih banyak dibandingkan penduduk Vatican.
Bisakah mereka berpikir seperti yang dipikirkan Pramudita, bahwa korupsi itu personal sifatnya bukan lagi urusan hukum positif. Bahwa iblis tidak mungkin memenjarakan setan. Itu artinya tidak perlu lagi percaya kepada polisi, jaksa, pengadilan bahkan penjara. Dia sebenarnya tidak pernah peduli dengan urusan orang lain, tetapi di bawah pengaruh ganja dia mulai berhalusinasi tentang anak muda. Kenapa anak-anak muda yang melek informasi dan punya nyali tidak membocorkan semua hal personal tentang koruptor; istri, anak-anak, harta, rumah, pelat mobil, tempat belanja hingga gigolo simpanan istrinya. Itu bukanlah hal yang susah di jaman keterbukaan ini. Kenapa ketika hukum gagal, anak-anak muda yang jumlahnya lebih dari populasi Vanuatu di Pasifik itu hanya diam tidak berdaya. Bundelan informasi pribadi berikut deskripsi kejahatan sebuah keluarga jauh lebih berguna dibandingkan hukuman penjara pada seorang kepala keluarga. Biarkan masyarakat menghukum dengan kemarahan yang mereka terima. Biarkan satu keluarga hancur untuk memberikan kehidupan kepada lebih banyak orang. Korupsi adalah sebuah teror jahat, ia mesti dibalas dengan teror masyarakat.
Pramudita menyandarkan tubuhnya padaku. Setelah ganja, kami akan mencoba semua yang terlarang lainnya. Ya, orang-orang tua seolah-olah selalu tahu apa yang terbaik untuk kita sembari menyodorkan berlembar-lembar larangan. Tetapi mereka sendiri tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan kecuali korupsi. Hukum menindas setiap keinginan liar kita sementara dia membiarkan ketidakadilan terjadi dimana-mana. Kenapa kita harus patuh, kenapa kita tidak menentukan cara hidup kita sendiri. Aku bersatu dengan Pramudita. Mawar yang tengah mekar di tengah layu melati.
F . i . n
Sumber Narasi & Penulis: E.S Ito
You may share this document under Creative Commons License – Terima kasih telah membaca tulisan ini. © 2011 Ari Sulistiono, Indonesian Electrical Engineer.
Tags: Copas & Share